112016Apr

Menghapus Stigma Negatif tentang Alat Bantu Dengar di Masyarakat

Salah satu permasalahan yang terjadi pada orang yang menggunakan alat bantu dengar adalah, kenyataan bahwa mereka akan dilihat sebagai seseorang yang berbeda, dengan orang lainnya. Dan, hal ini lah yang kemudian disebut dalam lingkungan sosial sebagai stigma negatif tentang alat bantu dengar.

Stigma negatif alat bantu dengar Berbeda dengan orang yang menggunakan kacamata, dimana mereka masih terlihat biasa saja di mata orang yang lainnya, orang dengan alat bantu dengar justru akan dilihat dengan sebuah pandangan yang tidak menyenangkan, aneh dan sebagainya. Stigma negatif tentang alat bantu dengar seolah menjadi penghambat banyak orang dengan gangguan dengar untuk mendapatkan terapi sedini mungkin.

Itulah salah satu alasan, mengapa banyak orang dengan gangguan dengar, baru akan mencari bantuan alat bantu pendengaran setelah 7 tahun mengalami masalah. Hal ini bisa disebabkan karena, mereka masih malu menggunakan alat bantu dengar, karena khawatir dianggap tuli, tua, memiliki keterbatasan, atau berbeda dengan yang lain.
Hampir setiap orang yang menggunakan alat bantu dengar untuk pertama kalinya, akan mengalami masa-masa penuh tantangan. Bukan sekadar tantangan dalam mendengar hal yang baru, tetapi lebih kepada tantangan untuk mengalahkan ego, yang sering merasa minder dan tidak percaya diri.

(Baca: Mengapa asuransi tidak menjamin alat bantu dengar?)

Dari Mana Stigma Negatif tentang Alat Bantu Dengar Berasal?

Awalnya, gangguan dengar seringkali terlihat sebagai kecacatan, dikarenakan banyak orang dengan masalah pendengaran, juga memiliki masalah komunikasi dan masalah dalam belajar. Hal ini menyebabkan mereka juga sering menarik diri dari pergaulan, atau pada beberapa kasus justru dijauhi dari pergaulan.

Berdasarkan Journal of Medical Professionals with Hearing Losses, orang lain melihat seseorang dengan gangguan dengar dengan perasaan yang campur aduk. Terkadang mereka memperlihatkan perasaan prihatin, takut, tidak memahami, sedih dan kasihan. Beberapa dari mereka beranggapan bahwa, orang yang memiliki gangguan dengar, akan mengalami kesulitan dalam proses belajar dan mengajar. Baru, sampai tahun 1700, mereka benar-benar bisa memahami, bahwa orang dengan gangguan dengar memiliki kemampuan untuk ikut serta dalam proses belajar mengajar, sama hal nya dengan orang yang menggunakan kacamata.

Hanya saja, ada satu stigma yang orang lain salah dalam menerjemahkannya. Jika mereka menerima bahwa gangguan pengelihatan bisa terjadi pada siapa saja, tidak begitu dengan gangguan dengar. Mereka menganggap gangguan dengar adalah sesuatu yang special, dimana hanya terjadi pada kasus-kasus tertentu. Mereka tidak mengetahui, bahwa gangguan dengar bisa juga terjadi pada siapa saja.

(Baca: Pengguna alat bantu dengar pun bisa nyaman mendengar di suasana bising)


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *