252016Aug
Say No untuk Diskriminasi Tunarungu (Audisme) di Dunia Kerja

Say No untuk Diskriminasi Tunarungu (Audisme) di Dunia Kerja

Setiap orang unik, setiap orang terlahir dengan kelebihannya. Stop diskriminasi tunarungu di lingkungan kerja, dan berikan mereka tempat yang nyaman untuk berkreativitas. Kelebihan mereka akan keluar saat mereka nyaman.

Belum bisa dielakkan, diskriminasi tunarungu atau orang dengan masalah pendengaran di dunia kerja masih kerap terjadi. Diskriminasi bisa terjadi mulai dari mereka memilih pekerjaan, penempatan posisi mereka di lingkungan kerja ataupun masalah kepercayaan. Sebuah penelitian dalam bentuk survey di Inggris, seperti disebutkan dalan National Deaf Children Society mengemukakan bahwa:

  • 76% dari mereka khawatir untuk memberitahukan atasan jika mereka mengalami masalah dalam pendengaran.
  • 77% dari mereka khawatir akan bentuk diskriminasi didunia kerja.
  • 72% mengaku cemas jika kehadiran mereka akan menggangu di kantor tersebut.
  • Mereka yang memiliki kekurangan lain di luar gangguajn dengar akan ditolak sejak awal wawancara.

Melihat angka yang terbaca pada survey ini, sangat terlihat bagaimana megara maju seperti Inggris masih memberikan rasa tidak aman bagi penduduknya yang memiliki masalah pendengaran dan bagaimana diskriminasi tunarungu masih menjadi pembahasan di sana. Bagaimana dengan di Indonesia?

Permasalahan diskriminasi tunarungu di Indonesia masih komplek. Sebelum berbicara tentang dunia kerja, mungkin kita harus berbicara tentang hal yang paling sederhana, yaitu bagaimana mereka mendapatkan kemampuan dalam berkomunikasi, komunikasi apa yang mereka gunakan, metode apa yang diajarkan dan lain sebagainya. Terkadang perbedaan-perbedaan dalam berkomunikasi itu sendiri bisa juga memunculkan masalah interen, di antara tunarungu itu sendiri.

Sebuah makalan tentang “Analisa Sosial Ketidakadilan pemenuhan Hak Berbahasa dan Berkomunikasi penyandang Tunarungu, yang melibatkan beberapa wawancara dengan Komunitas dan relawan untuk Tunarungu menyebutkan bahwa, Audisme atau diskriminasi kepada orang dengan masalah pendengaran dapat terjadi, bukan hanya di lingkungan masyarakat yang luas tetapi juga di lingkungan yang lebih sempit, seperti keluarga.

Di lingkungan sekolah misalnya, ketiadaan penyediaan bahasa isyarat di sekolah umum, atau belum banyaknya sekolah pemerintah yang menggabungkan anak dengan gangguan pendengaran dan anak tanpa gangguan dengar, agar bisa terbiasa berkomunikasi verbal ataupun dengan isyarat. Padahal dari dunia sempit inilah kesempatan mereka untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik di dunia kerja nanti bisa mereka capai.

Alat bantu dengar yang diharapkan bisa menjadi celah pembuka komunikasi pada mereka yang memiliki gangguan pendengaran, nyatanya di Indonesia sendiri tidak semua orang tunarungu mampu membelinya. Akibatnya, mereka yang tidak memiliki kemampuan untuk membeli akan semakin terkucilkan dan rendah diri.




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *