222017Mar
Sebuah Harapan dalam Kesunyian untuk Annisa Syifa Az Zahra

Sebuah Harapan dalam Kesunyian untuk Annisa Syifa Az Zahra

Dulu, yang saya harapkan hanyalah dia tahu bahwa saya ibunya dan ia bisa memanggil lantang dengan sebutan “ibu”. Tapi, hari ini suara nya yang sedikit melengking selalu menghiasi keseharian saya dengan panggilan “maamaaaa”

Mungkin benar adanya, di balik pepatah habis gelap terbit lah terang.

Semua berawal dari indahnya karunia yang dititip kan oleh Allah kepada kami. Sebagai orang tua, buah hati yang di nantikan pun menghiasi kehidupan ini. Tak ada perasaan sedih atau pun curiga. Semuanya tampak begitu sempurna.

Dia, putri kecil kami, lahir dengan normal, menangis, dan memiliki berat badan yang cukup. Dan, ia juga terlahir cukup bulan. Alangkah bahagianya kami pada saat itu. Tapi, kecemasan mulai menghinggapi di saat usianya menginjak 1 tahun. Walaupun ia sudah bisa berjalan dan juga sangat aktif, tapi ketenangan kami sedikit terganggu. Saat itu dia blm bisa bicara. Bahkan, memanggil ayah dan ibu nya pun belum bisa. Khawatir? ya, sudah pasti! Tapi saat itu, kami masih dalam batasan mencoba memaklumi “ah, ya mungkin memang belum waktu nya. Nanti juga bisa.”

Kami membiarkan hal tersebut berlalu.

Hingga di usia nya 1 tahun 6 bulan, tak satu kata pun yang ia keluarkan dari mulut mungilnya. Rasa khawatir yg sempat terabaikan pun mulai bangkit kembali, dan cukup membebani kami. Akhrnya kami memutuskan untuk membawa anak kami ke dokter anak. Dari dokter anak, kami pun dirujuk ke spesialis THT.

Awalnya saya kaget, ada apa dengan anak kami. Mengapa ia harus menjalani pemeriksaan ke THT? Tapi, lagi-lagi itu hanya pertanyaandalam hati saja. Kami terus menjalani petunjuk dari dokter. Singkat cerita, dokter mengatakan bahwa Annisa, itu nama anak saya untuk dilakukan pemeriksaan BERA. Kami sangat awam sekali dengan istilah itu. Menurut dokter, hal tersebut dilakukan untuk mengetahui apakah fungsi telinga mengalami gangguan atau tidak, apakah telinganya bekerja normal atau tidak. Perasaan kami makin dibuat bingun saat itu.

Pemeriksaan dilakukan di klinik khusus di Jakarta, yang hanya menangani masalah pendengaran saja. Hah? Apa? Pendengaran? Kenapa saya harus kesini, itu pertanyaan saya dalam hati lagi. Dan memang benar, mungkin di sinilah awalnya mendung hitam menyelimuti kehidupan kami. Dari hasil tes yg dilakukan, memang benar buah hati kami mengalami gangguan pendengaran. Ya, Annisa syifa az zahra mengalami gangguan 70 db di kanan kiri.

Penyebabnya mungkin karena infeksi virus saat saya hamil dulu. Seketika itu juga saya syok dan hanya bisa menangis di hadapan dokter dan suami. Rasa tidak percaya dan tidak terima pun bagai ombak, mengobrak abrik hati dan pikiran saya. Bagaimana ini semua bisa terjadi? Saat sedang hamil, saya berada di bawah dampingan dokter kandungan yang cukup handal. Ah, entahlahh!

Perjalanan Baru pun Dimulai

Setelah sempat berada dalam masa berkabung dengan mimpi kelam tersebut. Akhirnya saya harus meyakini diri dan bangkit untuk berjuang memberi harapan baru. Yah, jalan satu-satunya untuk anak kami saat itu adalah dengan memakai kannya alat bantu dengar. Alat ini harganya cukup mahal dan mungkin akan seumur hidup ia gunakan. Akhirnya putri kecil kami pun menggunakan alat bantu dengarnya. Apakah cerita selesai?

Ternyata tidak semudah yang saya pikirkan. Perjalanan mendengar putri kami tidak seperti anak normal lain. Ada rangkaian aktivitas yang kami harus jalani. Mulai dari mengfitting alat yg tepat, terapi dan habilitasi, dan ini semua pasti menguras tenaga dan waktu. BUkan itu saja, ini tentu membutuhkan biaya yg tidak sedikit. Di saat seperti itu lah, saya kadang merasa sendiri dan menyesali.

Tapi ternyata Allah membuka kan jalan yang amat terang. Selama proses belajar, terapi, pengulangan dan lelah nya mencari info seputaran pendengaran, saya ditemukan oleh orang-orang yg berhati malaikat. Dari mulai sesama orang tua anak tunarungu, para audilogis dari berbagai hearing center, para terapis yang ramah dan murah info dan tentunya dokter yang masih mau membimbing saya mendampingi anak. Dan, dari sini lah proses itu terus berlanjut hingga hari ini.

Dulu, yang saya harapkan hanyalah dia tahu bahwa saya ibunya dan ia bisa memanggil lantang dengan sebutan “ibu”. Tapi, hari ini suara nya yang sedikit melengking selalu menghiasi keseharian saya dengan panggilan “maamaaaa”. Saya pernah bertanya kenapa memanggil mama? Dan, dia menunjuk kan sebuah iklan susu di televisi, dimana ada seorang anak berlari memeluk ibunya dengan panggilan mama. Dia melakukan itu pada saya, terbayang bukan betapa bahagianya hati saya.

Bahkan, terkadang suara nyanyiannya begitu keras, membuat saya terus menerus sedikit menasehati nya agar lebih pelan ketika bernyanyi. Perjuangan kita memang belum usai. Mungkin ini hanya lah pagar awal kita melangkah ke perjalanan yang lebih menantang. Tapi saya sendiri sudah bersyukur, apa yang saya usahakan selama 3 tahun ini yaitu dari usianya yang ke 2 tahun memakai alat bantu dengar hingga sekarang ia berusia 5thn, terasa tidak sia sia. Meskipun belum sempurna, tapi saya yakin Allah masih memberikan saya kesempatan untuk membantunya lebih baik dan bisa menggapai harapan selayaknya anak-anak lain…Aamiin!

Akhir cerita, saya ingin mengucapkan rasa syukur kepada Allah dan terimakasih kepada suami saya yg selalu memberikan dukungan dalam keadaan apapun. Teruntuk teman-teman saya di komunitas rumah ramah rubella, mari berjuang bersama! Jangan pernah menyesali yang sudah terjadi karena yakin ada jalan indah yg menanti di depan sana. Terus melangkah atau kita akan tertinggal.

Ditulis oleh : Echa Lisna

Dipublikasikan pertama kali di FanPage International Hearing Center dan Account Name International Hearing Center




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *